Kelestarian Hutan ada di Tangan KITA. Mari dimulai dari upaya-upaya dari yang minimal untuk mencapai hasil yang optimal...

Rabu, 08 Juli 2009

Isu Lingkungan Dalam Pilpres 2009

Isu Lingkungan Dalam Pilpres 2009

Kampanye hampir (telah) berakhir, tinggal menunggu detik-detik pencontrengan 9 April nanti. Jika dibandingkan dengan kampanye dua periode terakhir, maka kampanye saat ini termasuk kampanye paling sepi, tidak semeriah tahun lalu. Dan dari sekian banyak parpol, isu-isu kampanye yang diangkat berupa isu kemiskinan, isu tenaga kerja/pengangguran, isu kesehatan, isu pendidikan, isu pangan dan isu migas (pemanfaatan sumber daya alam saja). Dan tidak ada satupun parpol yang mengangkat isu lingkungan sebagai topic sentral dalam kampenya. Isu lingkungan dianggap tidak populis di mata publik konstituennya. Hal ini karena isu lingkungan tidak memberikan dampak secara langsung dan bukan pokok isu permasalahan dalam ranah sistem sosial masyarakat. Fakta inilah yang menjadikan isu lingkungan dipandang sebagai second priority issues yang cenderung dilupakan oleh parpol dan bahkan dianggap tidak penting.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi, mengapa isu lingkungan tidak menjadi main politik dalam kampanye parpol di Indonesia. Pertama, masyarakat telah apatis dengan isu dan kasus lingkungan yang ada disekitar mereka. Berbagai problema dan kasus lingkungan yang terjadi pada masyarakat kalangan bawah (misalnya pencemaran teluk Buyat, Pembuangan limbah pabrik di persawahan di daerah sekitar Jakarta) menjadi bias penyelesaiannya ketika kasus tersebut diendus media dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak fair. Penyelesaian kasus cenderung sepihak pada pemerintah yang diindikasi ada permainan dengan pemodal. Disamping tidak adanya mekanisme ganti rugi yang seimbang terhadap dampak kerusakannya. Fakta ini berdampak pada ketidakpedulian masyarakat dengan kasus/isu lingkungannya. Contoh lain yang baru-baru saja terjadi adalah Kasus bajir Situ Ginthung. Kasus tersebut merupakan dampak dari keputusasaan public terhadap pemerintah terkait dengan tuntutan perbaikan terhadap berbagai infrastruktur yang berkaitan dengan sumber daya alam. Keputusasaan public didasarkan pada rendahnya perawatan infrastruktur yang telah tua. Jika pemerintah yang merupakan pilihan aspirasi mereka pada pemilu tahun lalu tidak melakukan apa-apa dengan kondisi tersebut, maka mereka tidak punya alasan mendasar harus turut merawatnya. Apatisme muncul didasarkan pada realitas kekecewaan terhadap janji kampaye parpol yang penuh dengan pengingkaran. Janji perbaikan disegala lini kehidupan sosial masyarakat sebagai omong kosong belaka. Pemikiran masyarakat kemudian mejadi sederhana sebatas apa keuntungan materiil yang bisa diperoleh dari kampanye. Kepentingan-kepentingan sosial mereka gadaikan hanya sebatas dengan kaos parpol, uang bensin, stiker dan snack. Sebuah pengorbanan yang tidak seimbang. Kedua, tidak adanya pendidikan berpolitik dalam kampanye yang mencerdaskan, disamping internal parpol sendiri tidak ada yang memiliki kapabilitas penguasaan terhadap isu-isu sosial termasuk isu lingkungan. Kecenderungan kampanye parpol adalah pengumpulan masa untuk bersenang-senang (dengan dangdut atau group band) tanpa memberikan esensi kampanye yang logis. Ketiga, parpol menilai isu kemiskinan, pendidikan dan tenaga kerja lebih mengena dalam menarik perhatian konstituennya. Disamping penilaian bahwa pada point inilah aspirasi sebagian besar masyarakat tergambarkan.

Jika ditilik lebih mendalam, isu lingkungan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, tergantung bagaimana parpol mengemasnya. Nilai jual bisa diartikan sebagai salah satu alternatif tawaran politik baik skala nasional, regional maupun internasional. Tawaran politik kemudian disederhanakan dalam dua kategori, yaitu tawaran politik nasional dan tawaran politik internasional. Segmentasi isu dideskripsikan dalam permasalahan local dan global. Permasalahan local merupakan permasalahan dalam negeri yang meliputi kemiskinan, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan dan pokok migas yang besaran penganggaran kesemuanya tergantung pada kemampuan APBN dan utang negara, sedangkan permasalahan global adalah pemanasan global (global warming), Perubahan iklim (Climate change), dan transaksi karbon (carbon trading).
Permasalahan global disebabkan oleh semakin menciutnya luasan hutan dan degradasi lahan sebagai areal tangkapan karbon, disamping tingginya tingkat emisi karbon dari Negara-negara industry. Jika dilihat sekilas, ke dua permasalahan tidak ada kaitanya satu sama lain, tetapi jika ditelaah lebih dalam, maka ada korelasi logis dan sebuah peluang besar yang bisa memakmurkan rakyat Indonesia.

Telaah korelasi dimulai dengan mencermati tapak geografis Indonesia yang memiliki kawasan hutan tropis sangat luas. Nilai lingkunganlah (penyerapan emisi karbon) yang akan menjadi dasar keterkaitan antara permasalahan local dengan permasalahan global. Mekanisme global dalam mengatasi masalah lingkungan (pengurangan emisi karbon) dimulai dengan konferensi Earth Submit UNFCC di Rio De Jainero tahun 1992 dilanjutkan dengan serentetan konferensi-konferensi lingkungan (antara lain : COP 1 - 13) hingga menelurkan Protocol Kyoto sampai Protokol Bali (Bali Road Map). Kesemua mekanisme difokuskan untuk mengatasi permasalahan lingkungan global yang semakin buruk. Pada tataran Global, telah disadari pentingnya memperjuangkan isu lingkungan ditengah berkecamuknya isu perang, isu HAM, pendidikan dan isu lainnya. Dalam isu lingkungan terumuskan sebuah besaran nilai serapan emisi karbon sebagai nilai kompensasi yang harus dibeli oleh Negara industry terhadap Negara yang memiliki kawasan hutan. Sehingga Negara yang memiliki kawasan hutan yang luas, akan mendapatkan nilai kompensasi lingkungan yang besar pula. Nilai isu ini yang tidak pernah diendus oleh parpol kita dalam komoditi kampanyenya. Tidak satupun parpol yang berniat meyakinkan konstituen untuk berkomitment bersama menarik dana lingkungan internasional sebagai pembiayaan pembangunan dalam negeri.

Dalam konteks politik lingkungan – dengan kepemilikan hutan yang luas – Negara bisa memperoleh beberapa keuntungan untuk mensejahterakan rakyat dengan melakukan penarikan dan penggunaan dana-dana lingkungan internasional melalui cara :

a). Conservation taxes (pajak lingkungan), dimaksudkan sebagai sumber pendanaan dari pajak terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pemantaafan sumber daya alam dari Negara. Pajak lingkungan ditentukan berdasarkan nilai yang harus dikembalikan untuk lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan usaha.

b). Penerapan mekanisme Debt for Nature Swap. Mekanisme ini pada dasarnya revisi dari skema “pay polluters prevention” yang merupakan mekanisme pendanaan potensial untuk pengelolaan kawasan konservasi sumber daya alam. Dasar yang dipakai adalah kewajiban negara industri maju untuk turut berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati di negara berkembang. Mekanisme implementasi yang diterapkan adalah dengan penghapusan hutang negara miskin dengan penjaminan hutan untuk dilestarikan dalam jangka waktu yang ditentukan. Pelestarian kawasan hutan kemudian di tangani oleh pihak pembeli (donor), seperti CI, WWF, FPN, TNC dan sebagainya. Negara-negara yang melakukan mekanisme ini antara lain : Bolivia dengan jumlah hutang US$ 650.000, dan oleh CI (Conservation International) dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 100.000; Ekuador dengan jumlah hutang US$ 9.000.000, oleh WWF/NC/MBC dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 1.068.750; Guatemala dengan jumlah hutang US$ 1.330.000, oleh CI/USAID dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 1.200.000; Filiphina dengan jumlah hutang US$ 19.000.000, oleh WWF dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 13.000.000; Jamaika dengan jumlah hutang US$ 440.000, oleh TNC dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 300.000, dan masih banyak Negara lain.

c). Melakukan moratorium utang Negara dengan jaminan lingkungan (kawasan hutan). Skema moratorium utang sebenarnya telah ada standartnya dalam badan PBB. Hutang suatu Negara bisa dihapuskan dengan persyaratan tertentu, misalnya jaminan mempertahankan kawasan hayati dan hutan untuk fungsi-fungsi kelestarian lingkungan.

d). Perdagangan karbon, dilakukan dengan penerapan mekanisme REDD (Reducing Emissions from Degradation and Deforestation). Pada mekanisme REDD mengatur kompensasi lingkungan yang diterima oleh Negara yang memiliki areal/kawasan hutan sebagai serapan emisi karbon. Nilai kompensasi yang ditentukan adalah sesuai besaran kemampuan kawasan dalam mengabsorbsi karbon. Kawasan hutan memiliki karakteristik serapan emisi karbon yang berbeda, tergantung dengan nilai tutupan yang dimiliki. Tingkat serapan emisi inilah yeng menjadi tolok ukur nilai jual kompensasi kawasan.

Semua mekanisme penarikan dana tersebut bukan lah sebuah politik “ngemis” atau minta-minta, tetapi hal ini merupakan tagihan hutang lingkungan dari negara industri oleh Negara berkembang yang memiliki kepemilikan hutan yang luas. Hutang lingkungan negara industri adalah berbagai dampak penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat produksi/penghasil emisi karbon pada industri-industri mereka. Dampaknya adalah menjadikan suhu bumi semakin panas (efek rumah kaca). Emisi karbon juga berdampak pada pelelehan es dikutub utara, meluasnya lubang ozon, perubahan iklim global dan berbagai kerusakan dan penghilangan keragaman hayati. Emisi karbon kemudian diserap oleh hutan-hutan negara berkembang sehingga konsentrasi karbon di bumi menurun. Absorbsi karbon tersebut bisa dikatakan sebagai stabilisator penyelamatan ekosistem bumi. Kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan inilah yang merupakan hutang lingkungan mereka. Hutang lingkungan harus dibayar dalam berbagai kompensasi dan skema lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab kepedulian dalam menjaga kelestarian bumi. Semua mekanisme tersebut telah ditetapkan dan ditentukan standar implementasinya oleh badan PBB, jadi mekanisme ini sah-sah saja dilakukan oleh setiap negara sebagai implementasi konsensus internasional. Kebanyakan negara malu (tidak mau) untuk melakukan skema ini, terkait dengan status sebagai negara miskin (berkembang) yang selalu membutuhkan bantuan negara industri. Timbul juga penilaian bahwa Negara yang bersangkutan telah tidak memiliki kedaulatan yang mandiri dan bahkan dipandang rendah oleh Negara maju terkait dengan permintaan belas-kasihan lembaga international dalam penghapusan hutangnya. Padahal jika dikaji lebih dalam, skema tersebut merupakan skema keadilan dan kewajiban antar negara di dunia. Ada pembagian hak dan tanggungjawab antar negara dalam penyelamatan kehidupan. Negara industri sebagai sumber polutan terbesar wajib mengurangi emisinya dan melakukan perbaikan lingkungan bumi, sedangkan Negara berkembang yang terkena dampak industry baik secara langsung maupun tidak langsung, berhak menerima kompensasi kerugian ataupun kompensasi jasa lingkungan dalam penyediaan hutan sebagai penyerap emisi karbon mereka.

Jika dihitung-hitung Indonesia memiliki luasan hutan sebesar 187.748.763 Ha, baik dalam bentuk kawasan hutan lindung, hutan wisata, hutan suaka alam, hutan produksi, hutan konversi dan hutan untuk alokasi pemanfaatan lainnya (TGHK Dephut, 24009). Jika diasumsikan kawasan hutan Indonesia merupakan hujan hutan tropis basah (dengan kemampuan absorsi emisi karbon sebesar 3.110,4 ton/tahun/KM2 (menurut Ingersoll et al (1974) dalam Smith (1981)), maka besaran nilai karbon dapat dihitung sebesar 3.110,4 ton/tahun/KM2 x 187.748.763 Ha = 5.893.721.398,33 ton/tahun ( 5.8 miliar ton/tahun). Jika harga per ton karbon saat ini US$ 4, maka keuntungan Negara dari hasil penjualan karbon adalah 5.893.721.398,33 ton/tahun x US$ 4 = US$ 23,358,885,593.33. Nilai ini sama dengan Rp 303,665,512,713,266.00 (303.6 triliun rupiah) jika kurs 1 dolar sama dengan Rp. 13.000,-. Nilai pendapatan dari perdagangan karbon ini dapat digunakan untuk pembiayaan APB yang sebesar 174 triliun rupiah (pada tahun 2008) dan dipergunakan untuk pelunasan hutang Negara. Nilai kompensasi karbon dapat pula dipergunakan untuk pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan dan penyelesaian berbagai permasalahan lokal dalam negeri. Sebuah nilai yang sangat mahal untuk diperjuangkan.

Nilai kompensasi karbon yang besar tersebut, perlu diperjuangkan baik pada tingkat local, regional maupun pada tingkat international. Yang diperlukan saat ini adalah adanya inisiasi parpol untuk mengangkat isu lingkungan sebagai topic sentral untuk diperjuangkan bersama. Mekanisme REDD tidak mungkin berhasil jika tidak ada kesepahaman antar parpol dalam negeri, karena perjuangan untuk meloloskan REDD merupakan cakupan politik lingkungan international. Jadi, pengangkatan isu lingkungan hanya bisa dilakukan oleh Negara yang telah memiliki garis politik lingkungan yang jelas. Sedangkan garis politik lingkungan Negara tersebut ditentukan dari pemilihan legislator partai dalam pemilu (DPR). Seruan individual sebuah partai politik, tidak akan berarti dalam perjuangan politik lingkungan international. Untuk itu, diperlukan politisi-politisi lingkungan yang berkomitmen tinggi dalam penyelamatan lingkungan untuk menduduki kursi legislatif kita.

Politik isu lingkungan akan semakin menjanjikan ke depan, mengingat telah disepakati consensus international dalam penanggulangan pemanasan global dan perdagangan karbon. Disamping potensi konservasi sumber daya hutan Indonesia yang masih sangat luas, sehingga peluang mendapatkan profit sharing jasa lingkungan semakin terbuka lebar. Namun, Negara juga harus merawat dan melestarikan sumber daya alamnya, jangan sampai rusak/terdegradasi hanya karena pesona kapitalis yang menggerogoti sumber daya alam dengan eksploitasi yang besar-besaran tanpa merestorasikannya kembali. Kelestarian alam menjadi tumpuan, dan pertaruhan Indonesia sebagai salah satu Negara besar dunia dalam menciptakan keberlanjutan kehidupan di bumi. Politik lingkungan merupakan sebuah tantangan dan peluang nyata untuk penyelamatan bumi dan pensejahteraan rakyat Indonesia ke depannya. Apakah ada parpol di Indonesia yang tertarik mengusungnya? Jawabannya adalah tergantung calon legislatif yang terpilih pasca April nanti.

Dirangkum oleh:
Gunawan - master candidate in environmental Gadjah Mada university

Referensi :
Smith, W.H, 14981. Air pollution and forest. Interaction between air contaminant and forest ecosystem. Springer – verlag. New York
Statitik Kehutanan, TGHK Departemen Kehutanan RI. 2009. www.dephut.go.id