Kelestarian Hutan ada di Tangan KITA. Mari dimulai dari upaya-upaya dari yang minimal untuk mencapai hasil yang optimal...

Minggu, 20 November 2011

Teknik Persemaian / Pembibitan Kayu


Persemaian dan Peluang Usaha


Setiap tahun, setiap saat, jutaan bibit ditanam dalam rangka program penghijaun, reboisasi, pengusahaan hutan rakyat, dan bentuk-bentuk penanaman lainnya. Terbesit pemikiran, berapa banyak bibit yang ditanam dan disebar?? Apakah ribuan, jutaan bahkan miliaran bibit?

Jika ditelisik, bagaimana kebutuhan bibit tersebut bisa dipenuhi? Bagaimana seseorang bisa eksis dengan usaha bibit? Bagaimana memulai?

Berbicara mengenai bibit, merupakan usaha yang gampang-gampang susah. Bagaimana tidak, produksi bibit dalam jumlah besar mudah dilakukan dengan teknik-teknik pembibitan akan tetapi bagaimana memasarkan produk bibit yang kita hasilkan?

Persemaian adalah tempat atau area untuk kegiatan memproses benih (atau bahan lain dari tanaman) menjadi bibit atau semai yang siap ditanam. Dapat dikatakan, bahwa persemaian adalah pabrik dalam produksi bibit. Kita berpemikiran, bagaiman pabrik ini tetap eksis? Strategi apa yang perlu diterapkan untuk menjamin eksistensi usaha pembibitan dan memenangkan kompetisi diantara pebisnis bibit yang lain??

Ragam pertanyaan ini, secara ringkas dijawab dan dipecahkan penulis dalam buku "Untung Besar dari Usaha Pembibitan Kayu". Memuat secara komphrehensif seluk beluk pembibitan dan strategi pemasaran secara mudah dan gampang diaplikasikan.


Penulis,
Gunawan

Rabu, 08 Juli 2009

Lowongan Kerja Kontrak

Maaf, Untuk Sementara belum ada lowongan kerja kontrak.

Terimakasih,

Gunawan

Metode pengamatan Fauna

Metode pengamatan Fauna


1. Burung
Metode pengambilan data burung dilakukan dengan Line transect, yaitu pengamatan dengan pola garis lurus dengan diameter dikanan kiri garis pengamatan 50 meter, panjang transect minimal 100 meter dengan perkiraan jarak antar transect adalah 200 meter.

2. Mamalia
Metode pengambilan data pada mamalia dilakukan dengan Line Transect. Penentuan sampling dilakukan dengan cara purposif. Metode pengamatan sama seperti metode pengamatan burung. Pengamatan dilakukan pada skate, tanda-tanda keberadaan spesies.

3. Reptilia
Sampling ditentukan dengan purposif sampling. Metode pengambilan data dilakukan dengan metode Visual Encounter Surveys (VESs), yaitu dengan observasi sepanjang area yang ditentukan secara sistematis dalam pencarian satwa. Sampling dilakukan dengan cara purposif pada spot-spot akumulasi spesies.

4. Pisces
Metode pengumpulan data dilakukan dengan teknik Visual Encounter Surveys (VESs) secara purposif, pada selokan-selokan air, genangan air, kolam alami dan sungai.

5. Insect
Pengamatan fauna dilaksanakan dengan metode point counting atau Index Point of Abundance. Pengamatan jenis fauna dilakukan pada plot kuadrat 10 M2. Analisis data dilaksanakan dengan menggunakan analisis kuantitatif terhadap jenis, jumlah jenis, kemelimpahan dan indek keanekaragaman. Perhitungan untuk mengetahui keadaan biodiversitas dilaksanakan dengan analisis Indek Diversitas dan Indek kekayaan margalef.


Metode analisis :
 Rumus indeks Shannon (Magurran, 1998) digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis :

H’ = - pi ln pi

Keterangan : H’ = indeks keanekaragaman Shannon
pi = proporsi kelimpahan dari total sampel i jenis (Ni/N)
Ni = jumlah burung jenis ke-i
N = jumlah total individu semua jenis

Isu Lingkungan Dalam Pilpres 2009

Isu Lingkungan Dalam Pilpres 2009

Kampanye hampir (telah) berakhir, tinggal menunggu detik-detik pencontrengan 9 April nanti. Jika dibandingkan dengan kampanye dua periode terakhir, maka kampanye saat ini termasuk kampanye paling sepi, tidak semeriah tahun lalu. Dan dari sekian banyak parpol, isu-isu kampanye yang diangkat berupa isu kemiskinan, isu tenaga kerja/pengangguran, isu kesehatan, isu pendidikan, isu pangan dan isu migas (pemanfaatan sumber daya alam saja). Dan tidak ada satupun parpol yang mengangkat isu lingkungan sebagai topic sentral dalam kampenya. Isu lingkungan dianggap tidak populis di mata publik konstituennya. Hal ini karena isu lingkungan tidak memberikan dampak secara langsung dan bukan pokok isu permasalahan dalam ranah sistem sosial masyarakat. Fakta inilah yang menjadikan isu lingkungan dipandang sebagai second priority issues yang cenderung dilupakan oleh parpol dan bahkan dianggap tidak penting.

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi, mengapa isu lingkungan tidak menjadi main politik dalam kampanye parpol di Indonesia. Pertama, masyarakat telah apatis dengan isu dan kasus lingkungan yang ada disekitar mereka. Berbagai problema dan kasus lingkungan yang terjadi pada masyarakat kalangan bawah (misalnya pencemaran teluk Buyat, Pembuangan limbah pabrik di persawahan di daerah sekitar Jakarta) menjadi bias penyelesaiannya ketika kasus tersebut diendus media dan diakhiri dengan penyelesaian yang tidak fair. Penyelesaian kasus cenderung sepihak pada pemerintah yang diindikasi ada permainan dengan pemodal. Disamping tidak adanya mekanisme ganti rugi yang seimbang terhadap dampak kerusakannya. Fakta ini berdampak pada ketidakpedulian masyarakat dengan kasus/isu lingkungannya. Contoh lain yang baru-baru saja terjadi adalah Kasus bajir Situ Ginthung. Kasus tersebut merupakan dampak dari keputusasaan public terhadap pemerintah terkait dengan tuntutan perbaikan terhadap berbagai infrastruktur yang berkaitan dengan sumber daya alam. Keputusasaan public didasarkan pada rendahnya perawatan infrastruktur yang telah tua. Jika pemerintah yang merupakan pilihan aspirasi mereka pada pemilu tahun lalu tidak melakukan apa-apa dengan kondisi tersebut, maka mereka tidak punya alasan mendasar harus turut merawatnya. Apatisme muncul didasarkan pada realitas kekecewaan terhadap janji kampaye parpol yang penuh dengan pengingkaran. Janji perbaikan disegala lini kehidupan sosial masyarakat sebagai omong kosong belaka. Pemikiran masyarakat kemudian mejadi sederhana sebatas apa keuntungan materiil yang bisa diperoleh dari kampanye. Kepentingan-kepentingan sosial mereka gadaikan hanya sebatas dengan kaos parpol, uang bensin, stiker dan snack. Sebuah pengorbanan yang tidak seimbang. Kedua, tidak adanya pendidikan berpolitik dalam kampanye yang mencerdaskan, disamping internal parpol sendiri tidak ada yang memiliki kapabilitas penguasaan terhadap isu-isu sosial termasuk isu lingkungan. Kecenderungan kampanye parpol adalah pengumpulan masa untuk bersenang-senang (dengan dangdut atau group band) tanpa memberikan esensi kampanye yang logis. Ketiga, parpol menilai isu kemiskinan, pendidikan dan tenaga kerja lebih mengena dalam menarik perhatian konstituennya. Disamping penilaian bahwa pada point inilah aspirasi sebagian besar masyarakat tergambarkan.

Jika ditilik lebih mendalam, isu lingkungan memiliki nilai jual yang lebih tinggi, tergantung bagaimana parpol mengemasnya. Nilai jual bisa diartikan sebagai salah satu alternatif tawaran politik baik skala nasional, regional maupun internasional. Tawaran politik kemudian disederhanakan dalam dua kategori, yaitu tawaran politik nasional dan tawaran politik internasional. Segmentasi isu dideskripsikan dalam permasalahan local dan global. Permasalahan local merupakan permasalahan dalam negeri yang meliputi kemiskinan, pendidikan, tenaga kerja, kesehatan dan pokok migas yang besaran penganggaran kesemuanya tergantung pada kemampuan APBN dan utang negara, sedangkan permasalahan global adalah pemanasan global (global warming), Perubahan iklim (Climate change), dan transaksi karbon (carbon trading).
Permasalahan global disebabkan oleh semakin menciutnya luasan hutan dan degradasi lahan sebagai areal tangkapan karbon, disamping tingginya tingkat emisi karbon dari Negara-negara industry. Jika dilihat sekilas, ke dua permasalahan tidak ada kaitanya satu sama lain, tetapi jika ditelaah lebih dalam, maka ada korelasi logis dan sebuah peluang besar yang bisa memakmurkan rakyat Indonesia.

Telaah korelasi dimulai dengan mencermati tapak geografis Indonesia yang memiliki kawasan hutan tropis sangat luas. Nilai lingkunganlah (penyerapan emisi karbon) yang akan menjadi dasar keterkaitan antara permasalahan local dengan permasalahan global. Mekanisme global dalam mengatasi masalah lingkungan (pengurangan emisi karbon) dimulai dengan konferensi Earth Submit UNFCC di Rio De Jainero tahun 1992 dilanjutkan dengan serentetan konferensi-konferensi lingkungan (antara lain : COP 1 - 13) hingga menelurkan Protocol Kyoto sampai Protokol Bali (Bali Road Map). Kesemua mekanisme difokuskan untuk mengatasi permasalahan lingkungan global yang semakin buruk. Pada tataran Global, telah disadari pentingnya memperjuangkan isu lingkungan ditengah berkecamuknya isu perang, isu HAM, pendidikan dan isu lainnya. Dalam isu lingkungan terumuskan sebuah besaran nilai serapan emisi karbon sebagai nilai kompensasi yang harus dibeli oleh Negara industry terhadap Negara yang memiliki kawasan hutan. Sehingga Negara yang memiliki kawasan hutan yang luas, akan mendapatkan nilai kompensasi lingkungan yang besar pula. Nilai isu ini yang tidak pernah diendus oleh parpol kita dalam komoditi kampanyenya. Tidak satupun parpol yang berniat meyakinkan konstituen untuk berkomitment bersama menarik dana lingkungan internasional sebagai pembiayaan pembangunan dalam negeri.

Dalam konteks politik lingkungan – dengan kepemilikan hutan yang luas – Negara bisa memperoleh beberapa keuntungan untuk mensejahterakan rakyat dengan melakukan penarikan dan penggunaan dana-dana lingkungan internasional melalui cara :

a). Conservation taxes (pajak lingkungan), dimaksudkan sebagai sumber pendanaan dari pajak terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pemantaafan sumber daya alam dari Negara. Pajak lingkungan ditentukan berdasarkan nilai yang harus dikembalikan untuk lingkungan dan peningkatan kesejahteraan penduduk sekitar kegiatan usaha.

b). Penerapan mekanisme Debt for Nature Swap. Mekanisme ini pada dasarnya revisi dari skema “pay polluters prevention” yang merupakan mekanisme pendanaan potensial untuk pengelolaan kawasan konservasi sumber daya alam. Dasar yang dipakai adalah kewajiban negara industri maju untuk turut berperan dalam pelestarian keanekaragaman hayati di negara berkembang. Mekanisme implementasi yang diterapkan adalah dengan penghapusan hutang negara miskin dengan penjaminan hutan untuk dilestarikan dalam jangka waktu yang ditentukan. Pelestarian kawasan hutan kemudian di tangani oleh pihak pembeli (donor), seperti CI, WWF, FPN, TNC dan sebagainya. Negara-negara yang melakukan mekanisme ini antara lain : Bolivia dengan jumlah hutang US$ 650.000, dan oleh CI (Conservation International) dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 100.000; Ekuador dengan jumlah hutang US$ 9.000.000, oleh WWF/NC/MBC dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 1.068.750; Guatemala dengan jumlah hutang US$ 1.330.000, oleh CI/USAID dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 1.200.000; Filiphina dengan jumlah hutang US$ 19.000.000, oleh WWF dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 13.000.000; Jamaika dengan jumlah hutang US$ 440.000, oleh TNC dibeli/penghapusan hutang sebanyak US$ 300.000, dan masih banyak Negara lain.

c). Melakukan moratorium utang Negara dengan jaminan lingkungan (kawasan hutan). Skema moratorium utang sebenarnya telah ada standartnya dalam badan PBB. Hutang suatu Negara bisa dihapuskan dengan persyaratan tertentu, misalnya jaminan mempertahankan kawasan hayati dan hutan untuk fungsi-fungsi kelestarian lingkungan.

d). Perdagangan karbon, dilakukan dengan penerapan mekanisme REDD (Reducing Emissions from Degradation and Deforestation). Pada mekanisme REDD mengatur kompensasi lingkungan yang diterima oleh Negara yang memiliki areal/kawasan hutan sebagai serapan emisi karbon. Nilai kompensasi yang ditentukan adalah sesuai besaran kemampuan kawasan dalam mengabsorbsi karbon. Kawasan hutan memiliki karakteristik serapan emisi karbon yang berbeda, tergantung dengan nilai tutupan yang dimiliki. Tingkat serapan emisi inilah yeng menjadi tolok ukur nilai jual kompensasi kawasan.

Semua mekanisme penarikan dana tersebut bukan lah sebuah politik “ngemis” atau minta-minta, tetapi hal ini merupakan tagihan hutang lingkungan dari negara industri oleh Negara berkembang yang memiliki kepemilikan hutan yang luas. Hutang lingkungan negara industri adalah berbagai dampak penurunan kualitas lingkungan sebagai akibat produksi/penghasil emisi karbon pada industri-industri mereka. Dampaknya adalah menjadikan suhu bumi semakin panas (efek rumah kaca). Emisi karbon juga berdampak pada pelelehan es dikutub utara, meluasnya lubang ozon, perubahan iklim global dan berbagai kerusakan dan penghilangan keragaman hayati. Emisi karbon kemudian diserap oleh hutan-hutan negara berkembang sehingga konsentrasi karbon di bumi menurun. Absorbsi karbon tersebut bisa dikatakan sebagai stabilisator penyelamatan ekosistem bumi. Kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan inilah yang merupakan hutang lingkungan mereka. Hutang lingkungan harus dibayar dalam berbagai kompensasi dan skema lingkungan sebagai bentuk tanggung jawab kepedulian dalam menjaga kelestarian bumi. Semua mekanisme tersebut telah ditetapkan dan ditentukan standar implementasinya oleh badan PBB, jadi mekanisme ini sah-sah saja dilakukan oleh setiap negara sebagai implementasi konsensus internasional. Kebanyakan negara malu (tidak mau) untuk melakukan skema ini, terkait dengan status sebagai negara miskin (berkembang) yang selalu membutuhkan bantuan negara industri. Timbul juga penilaian bahwa Negara yang bersangkutan telah tidak memiliki kedaulatan yang mandiri dan bahkan dipandang rendah oleh Negara maju terkait dengan permintaan belas-kasihan lembaga international dalam penghapusan hutangnya. Padahal jika dikaji lebih dalam, skema tersebut merupakan skema keadilan dan kewajiban antar negara di dunia. Ada pembagian hak dan tanggungjawab antar negara dalam penyelamatan kehidupan. Negara industri sebagai sumber polutan terbesar wajib mengurangi emisinya dan melakukan perbaikan lingkungan bumi, sedangkan Negara berkembang yang terkena dampak industry baik secara langsung maupun tidak langsung, berhak menerima kompensasi kerugian ataupun kompensasi jasa lingkungan dalam penyediaan hutan sebagai penyerap emisi karbon mereka.

Jika dihitung-hitung Indonesia memiliki luasan hutan sebesar 187.748.763 Ha, baik dalam bentuk kawasan hutan lindung, hutan wisata, hutan suaka alam, hutan produksi, hutan konversi dan hutan untuk alokasi pemanfaatan lainnya (TGHK Dephut, 24009). Jika diasumsikan kawasan hutan Indonesia merupakan hujan hutan tropis basah (dengan kemampuan absorsi emisi karbon sebesar 3.110,4 ton/tahun/KM2 (menurut Ingersoll et al (1974) dalam Smith (1981)), maka besaran nilai karbon dapat dihitung sebesar 3.110,4 ton/tahun/KM2 x 187.748.763 Ha = 5.893.721.398,33 ton/tahun ( 5.8 miliar ton/tahun). Jika harga per ton karbon saat ini US$ 4, maka keuntungan Negara dari hasil penjualan karbon adalah 5.893.721.398,33 ton/tahun x US$ 4 = US$ 23,358,885,593.33. Nilai ini sama dengan Rp 303,665,512,713,266.00 (303.6 triliun rupiah) jika kurs 1 dolar sama dengan Rp. 13.000,-. Nilai pendapatan dari perdagangan karbon ini dapat digunakan untuk pembiayaan APB yang sebesar 174 triliun rupiah (pada tahun 2008) dan dipergunakan untuk pelunasan hutang Negara. Nilai kompensasi karbon dapat pula dipergunakan untuk pengentasan kemiskinan, peningkatan pendidikan, kesehatan dan penyelesaian berbagai permasalahan lokal dalam negeri. Sebuah nilai yang sangat mahal untuk diperjuangkan.

Nilai kompensasi karbon yang besar tersebut, perlu diperjuangkan baik pada tingkat local, regional maupun pada tingkat international. Yang diperlukan saat ini adalah adanya inisiasi parpol untuk mengangkat isu lingkungan sebagai topic sentral untuk diperjuangkan bersama. Mekanisme REDD tidak mungkin berhasil jika tidak ada kesepahaman antar parpol dalam negeri, karena perjuangan untuk meloloskan REDD merupakan cakupan politik lingkungan international. Jadi, pengangkatan isu lingkungan hanya bisa dilakukan oleh Negara yang telah memiliki garis politik lingkungan yang jelas. Sedangkan garis politik lingkungan Negara tersebut ditentukan dari pemilihan legislator partai dalam pemilu (DPR). Seruan individual sebuah partai politik, tidak akan berarti dalam perjuangan politik lingkungan international. Untuk itu, diperlukan politisi-politisi lingkungan yang berkomitmen tinggi dalam penyelamatan lingkungan untuk menduduki kursi legislatif kita.

Politik isu lingkungan akan semakin menjanjikan ke depan, mengingat telah disepakati consensus international dalam penanggulangan pemanasan global dan perdagangan karbon. Disamping potensi konservasi sumber daya hutan Indonesia yang masih sangat luas, sehingga peluang mendapatkan profit sharing jasa lingkungan semakin terbuka lebar. Namun, Negara juga harus merawat dan melestarikan sumber daya alamnya, jangan sampai rusak/terdegradasi hanya karena pesona kapitalis yang menggerogoti sumber daya alam dengan eksploitasi yang besar-besaran tanpa merestorasikannya kembali. Kelestarian alam menjadi tumpuan, dan pertaruhan Indonesia sebagai salah satu Negara besar dunia dalam menciptakan keberlanjutan kehidupan di bumi. Politik lingkungan merupakan sebuah tantangan dan peluang nyata untuk penyelamatan bumi dan pensejahteraan rakyat Indonesia ke depannya. Apakah ada parpol di Indonesia yang tertarik mengusungnya? Jawabannya adalah tergantung calon legislatif yang terpilih pasca April nanti.

Dirangkum oleh:
Gunawan - master candidate in environmental Gadjah Mada university

Referensi :
Smith, W.H, 14981. Air pollution and forest. Interaction between air contaminant and forest ecosystem. Springer – verlag. New York
Statitik Kehutanan, TGHK Departemen Kehutanan RI. 2009. www.dephut.go.id

Klasifikasi Bibit

Klasifikasi Bibit

Berbicara tentang bibit, maka dikenal beragam jenis bibit, mulai dari jenis pohon untuk tanaman kehutanan dan jenis pertanian dan hortikultura. Bibit-bibit tersebut dibudidayakan dengan spesifikasi tujuan tertentu, tergantung konsumen dalam penanamannya.

Jenis-jenis bibit berdasarkan fungsinya dapat dikategorikan dalam 4 tipe yaitu :

1. Jenis kayu-kayuan merupakan jenis-jenis tanaman hutan yang menghasilkan kayu untuk kayu bakar, konstruksi bangunan, meubel, bahan baku industri plup dan peralatan rumah tangga. Jenis bibit untuk menghasilkan kayu bakar misalnya lamtoro, gamal, akasia dekuren, kaliandra dan sebagainya. Sedangkan jenis untuk konstruksi bangunan dan meubel misalnya jati, mahoni, sonokeling, mindi, suren, kayu hitam, meranti, kruing, trembesi, bayur, pasang, laban, palar, dan sebagainya. Jenis untuk bahan baku industry pulp misalnya akasia, gmelina, sengon dan sebagainya. Untuk pembuatan peralatan rumah tangga, jenis yang biasa diusahakan adalah pohon kelapa.
Untuk jenis damar, pinus, kesambi, genitri dan karet meskipun menghasilkan produk non kayu berupa getah, namun tetap dikategorikan sebagai jenis kayu-kayuan. Pengkategorian ini didasarkan pada kenampakan fisik batang (kayu) dan pemanfaatan ganda sebagai penghasil kayu. Sedangkan, nilai komersil yang dihasilkan getah merupakan prioritas pengusahaan tanaman oleh suatu perusahaan/perorangan.

2. Jenis Multi Perpose Tree Species (MPTS) merupakan jenis-jenis tanaman yang sekaligus menghasilkan kayu dan non kayu. Jenis MPTS dapat dipilah menjadi :

a. Jenis penghasil buah dan biji : mangga, durian, nangka, alpokat, rambutan, matoa, kelengkeng, mundu, mete, asam dan sebagainya.

b. Jenis penghasil sayuran (makanan) : petai, turi, jengkol, salam, kayu manis, melinjo, dan sebagainya.

3. Jenis Tanaman Unggulan Lokal (TUL) merupakan jenis-jenis tanaman asli atau eksotik, yang disukai masyarakat dan mempunyai keunggulan tertentu seperti produk kayu, buah dan getah dan produknya mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dan ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

4. Jenis Tanaman Endemik merupakan jenis-jenis tanaman asli daerah yang memiliki ciri khas tertentu dan ditetapkan oleh Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA)/Balai Taman Nasional (BTN).

Untuk penggolongan bibit berdasarkan fungsi pembudidayaan (keperuntukkannya), dapat dipilah sebagai berikut :

a. Bibit untuk Hutan Rakyat
Bibit-bibit ini diperuntukkan bagi pembudidayaan hutan rakyat. Jenis-jenis yang digunakan berupa jenis kayu-kayuan, buah-buahan (multi purpose tree species), maupun jenis TUL dan tanaman Endemik. Fungsi bibit untuk hutan rakyat adalah peningkatan ekonomi masyarakat. Bibit yang ditanam dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai fungsi ekonomi masyarakat, yang meliputi :
• Penghasil kayu pertukangan/industry : mahoni, jati, sengon, akasia, suren,
• Penghasil kayu bakar : gamal, lamtoro,
• Penghasil buah : mangga, rambutan, durian, kelengkeng, matoa.
• Penghasil sayuran : melinjo, turi, gori/keluweh, petai, jengkol, salam.
• Penghasil biji : cokelat, kopi, mete.
• Penghasil getah : karet, damar, pinus, kelapa, aren
• Penghasil bahan-bahan lainnya : kina (obat-obatan), kayu manis (bahan masakan dan rempah-rempah), genitri (bijinya sebagai pengharum), gaharu, cendana (penghasil minyak).
Jenis yang biasa digunakan untuk fungsi hutan rakyat adalah jati, sengon, mahoni, rambutan, durian, kelengkeng, matoa, nangka dan sebagainya.

b. Bibit untuk Penghijauan Lingkungan
Bibit untuk penghijauan lingkungan difungsikan sebagai perlindungan terhadap lingkungan (ekosistem). Kecenderungannya adalah untuk penyerapan karbon (polusi), pencegahan kebisingan, fungsi resapan air, perlindungan sempadan sungai, turus jalan, dan perlindungan fungsi lingkungan lainnya. Jenis yang biasa digunakan adalah :
• Fungsi penyerapan karbon (polusi), pencegahan kebisingan, dan turus jalan : jati, mahoni, glodokan pecut/perdu, ketapang, angsana, tanjung,
• Fungsi resapan air : pinus, rasamala, puspa, kina, cemara, damar, sengon.
• Perlindungan sempadan sungai : mahoni, trembesi, bambu,
• Perlindungan pantai : cemara laut, pandan, nyamplung, jenis-jenis bakau,

Klasifikasi Sumber Indukan Bibit

Klasifikasi Sumber Indukan Bibit

Dalam perdagangan bibit, sering kita dengar bibit unggul, bibit jati emas, bibit super dan sebagainya. Sering kita terkecoh dengan slogan-slogan tersebut jika kita tidak tahu asal usul bibit tersebut. Pada hakekatnya, bibit adalah sama. Perbedaan yang mendasar adalah kualitas gentis dari bibit tersebut. Kualitas ini dapat diperoleh dengan melakukan uji provenan (asal-usul) bibit. Dalam buku ini, penulis akan menyajikan teknik yang mudah dalam penentuan pohon indukan. Untuk itu perlu difahami tentang pengertian yang terkait dengan asal-usul benih yaitu :
1. Genotip merupakan ciri-ciri kenampakan atau kualitas genetik dalam tumbuhan. Kualitas genotip tidak bisa diamati secara kasat mata, hanya bisa dilakukan uji laboratorium.
2. Fenotip merupakan tampilan fisik-fisiologis dari suatu tumbuhan yang bisa diamati secara langsung. Kualitas fenotip ini bisa berupa besarnya ukuran pohon, banyaknya buah, banyaknya cabang, perakaran tunjang dan sebagainya.

Bibit yang berkualitas diperoleh dari sumber benih (pohon indukan) yang berkualitas baik secara genetis maupun secara fisik-fisiologis. Ciri-ciri indukan yang berkualitas adalah dapat dikategorikan dalam tiga kategori :
a. Pohon indukan untuk penghasil kayu. Pohon indukan yang baik memiliki ciri-ciri :
- Berbatang besar, tunggal dan lurus.
- Tipe daun yang rimbun dan hujau.
- Tinggi batang bebas cabang (tbbc) yang tinggi.
- Memiliki biji yang banyak
- Perakaran tunggang dan kuat
- Sehat dan tidak diserang penyakit.
b. Pohon indukan buah. Indukan pohon penghasil buah yang baik memiliki ciri-ciri :
- Pohon besar, tinggi dan berbatang sempurna.
- Daun hijau rimbun
- Cepat berbuah
- Memiliki banyak buah, dengan rasa yang manis/enak dan banyak jumlahnya.
- Perakaran kuat
- Sehat, tidak terserang hama dan penyakit.
c. Tanaman indukan untuk jenis pertanian. Indukan yang dipakai untuk tanaman pertanian, pada umumnya memiliki ciri-ciri :
- Menghasilkan buah/biji yang enak dan banyak
- Umurnya genjah
- Tampilan batang sempurna, daun rimbun dan hijau
- Perakaran kuat dan kompak
- Sehat dan tidak diserang hama dan penyakit.
Pemilihan indukan harus diperhatikan secara cermat dan teliti. Kesalahan dalam pemilihan indukan akan berakibat fatal, dimana bibit yang dihasilakan cenderung jelek, mudah terserang penyakit dan tidak berkualitas. Tampilan fisik-fisiologis indukan yang baik,akan menghasilkan keturunan yang baik juga. Sedangkan, jika indukan yang dipakai berbatang bengkok, banyak cabang maka anakan yang dihasilkan cenderung memiliki kenampakan yang serupa. Pemilihan indukan sangat penting untuk menunjang kualitas bibit yang baik.
Penetapan pohon indukan sebagai sumber benih yang bersertifikat harus dilakukan dengan pengajuan sebagai sumber benih pada intansi sertifikasi benih dan bibit (Balai Perbenihan Tanaman Hutan (BPTH), dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB). Dalam pengajuan tersebut, perlu diperinci tentang pengelolaan dan perawatan terhadap tegakan. Perwatan tegakan tersebut meliputi : pemupukan, penyiangan, pengendalian hama dan penyakit, pemeliharaan tegakan indukan berupa perampalan cabang, pemberantasan liana dan sebagainya.
Sedangkan Penetapan pohon indukan sebagai sumber benih dapat di kategorikan sebagai berikut :

a. Tegakan Benih Teridentifikasi (TBT/TBI) adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih atau koleksi benih dimana sebaran benihnya dengan tepat teridentifikasi.

b. Tegakan Benih Terseleksi (TBS) adalah suatu tegakan alam tau tanaman dengan pohon yang memiliki fenotipe superior untuk sifat-sifat yang penting (pohon pinus, percabangan ringan, dll) dan digunakan untuk menghasilkan benih.

c. Areal Produksi Benih (APB) adalah tegakan benih terseleksi yang ditingkatkan kualitasnya dengan menebang pohon inferior sehingga yang tersisa adalah pohon berfenotif baik dan dapat memproduksi bibit secara melimpah.

d. Tegakan Provenan adalah tegakan yang dibangun dari benih-benih yang provenannya telah teruji dan diketahui superioritasnya.

e. Kebun benih adalah tegakan yang dibangun mengunakan benih yang telah mengalami uji keturunan dan genotipe nya telah diketahui superioritasnya. Kebun benih dibedakan menjadi KBK (Kebun Benih Klon) dan KBS (Kebun Benih Semai).

f. Lokal (tidak terdaftar/bersertifikat) merupakan benih dari sembarang tegakan yang memiliki kenampakan fisik-fisiologis baik untuk dijadikan indukan. Pada hakekatnya untuk sumber benih local adalah pohon indukan dari suatu daerah tertentu yang memiliki persebaran jenis pohon local tertentu.